Jumat, 19 Agustus 2011

Monsterisasi “Teror NII” Kuatkan Islamophobia

Selama beberapa pekan terakhir, isu NII (Negara Islam Indonesia) ramai dibicarakan dan banyak menghiasi media massa baik cetak maupun elektronik. Isu NII itu banyak dikaitkan dengan aktivitas cuci otak, kasus banyaknya orang hilang termasuk banyak diantaranya mahasiswa, aksi pemerasan dan lainnya. Kebanyakan isu tersebut mengarah kepada NII Komandemen Wilayah IX (NII KW IX).

Dalam isu NII KW IX ini, terkesan ada upaya tangan-tangan kotor untuk membuat umat Islam salah paham terhadap agamanya sendiri bahkan phobia dengan perjuangan syariat di negeri ini. Maka perlu kiranya umat membangun kesadaran politik dan pemahaman seputar isu NII ini.

NII KW IX Banyak Penyimpangan

Menurut banyak pihak termasuk mantan-mantan anggota dan pejabatnya, saat ini NII KW IX dipimpin oleh Abu Toto alias Abdul Salam alias Abu Marik alias Abu Marif alias Nur Alamsyah dengan julukan/gelar Panji Gumilang.

Jika dilacak embrio munculnya NII KW IX tidak bisa lepas dari sejarah eksistensi gerakan DI/TII yang dipimpin SM Kartosoewiryo yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Namun NII KW IX tidak otomatis bisa diklaim adalah DI/TII itu sendiri, karena faktanya dalam banyak aspek termasuk visi misinya jauh berbeda bahkan bertentangan dengan yang pernah di perjuangkan oleh DI/TII Kartosoewiryo.

Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah, sejak Juli 1962 secara organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX. Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu. Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke tubuh NII, melalui Adah Jailani. Lalu dibentuk Komandemen baru yaitu KW VIII untuk wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar. Lalu dia digantikan oleh Abu Karim Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini. Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992, lalu Adah Jaelani mengangkat Abu Toto menggantikan Abu Karim. Sejak tahun 1993, KW IX membangun struktur di bawahnya hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Juga membangun sistem keuangan dan doktrin dasar yang sebelumnya tidak pernah diajarkan dalam gerakan DI/TII Kartosoewiryo. NII KW IX itu eksis hingga kini. Dari penelitian MUI tahun 2002 ditemukan indikasi kuat adanya relasi antara Ma’had az-Zaytun (MAZ) dan organisasi NII KW IX.

NII KW IX dinilai telah menyimpang, bahkan sesat dan menyesatkan. Diantara penyimpangannya (hasil penelitian MUI 2002): mobilisasi dana mengatasnamakan ajaran Islam yang diselewengkan, penafsiran ayat al-Quran yang menyimpang, mengkafirkan orang diluar kelompoknya, juga indikasi penyimpangan paham dalam masalah zakat dan kurban yang diterapkan di MAZ.

Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dalam fatwa tanggal 26/2/2002 bahkan menyatakan NII KW IX sebagai gerakan sesat dan menyesatkan. Alasannya NII KW IX menganggap:
Semua muslim di luar mereka disebut kafir dan halal darah dan miliknya.
Dosa zina dan maksiyat bisa ditebus dengan sejumlah uang yang ditetapkan.
Tidak ada kewajiban mengqadha’ puasa, tapi cukup dengan membayar sejumlah uang yang ditetapkan.
Dibenarkan menggalang dana untuk membangun sarana fisik dan operasional dengan menghalalkan segala cara termasuk menipu dan mencuri.
Taubat hanya sah jika membayar sejumlah tertentu “shadaqah istighfar”.
Ayah kandung yang belum masuk kelompok mereka tidak sah menjadi wali nikah.
Tidak wajib berhaji kecuai telah jadi mas’ul. -Bahkan dikatakan berhaji cukup ke ibu kotanya yaitu MAZ (www.nii-crisis-center.com)-
Qonun Asasi (Aturan Dasar) gerakan dianggap lebih tinggi dari Kitabullah, bahkan tidak berdosa menginjak-injak mushaf al-Quran.
Apa yang mereka sebut “shalat aktifitas” yaitu melaksanakan program gerakan dianggap lebih utama dari shalat fardhu.

Sikap “Aneh” Pemerintah?

Umat yang resah akibat isu NII ini telah menunggu-nunggu sikap tegas pemerintah. Namun hingga saat ini ketegasan itu tidak tampak. Bahkan menurut Menko Polhukam RI DJoko Suyanto, NII belum bisa dianggap makar dan mengganggu kedaulatan negara karena baru bersifat mengajak orang untuk mengikuti jalan mereka. Di kesempatan yang berbeda Djoko menegaskan pernyataannya bahwa NII belum menjadi ancaman Nasional. Sebab NII belum merupakan gerakan yang bersifat massif, (lihat Media Indonesia, 2/5/2011).

Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam, Sagom Tamboen di Kantor Kemenko Polkam, Jakarta, Jumat (29/4/2011) mengatakan, “Bahwa pihak-pihak (pemerintah) yang mengikuti perkembangan NII tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka tidak melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang bisa terjerat pasal pidana tertentu” (Okezone.com, 29/4). Begitupun, Polri juga belum akan menindak kelompok NII KW 9. Apalagi melakukan langkah hukum ke Pesantren Al Zaytun yang dituding sejumlah pihak terkait NII KW 9. Alasannya belum ada bukti pidana ke arah itu (lihat detiknews.com, 28/4).

Padahal banyak kasus penculikan, penipuan, pencurian bahkan sampai perampokan ditengarai terkait dengan kelompok ini. Pengaduan korban, kesaksian mantan anggota NII, hasil penelitian Balitbang Depag (Februari 2004) dan MUI (5 oktober 2002), dan temuan Intelkam Mabes Polri seharusnya cukup memberikan pijakan kepada pemerintah untuk merumuskan sikap dan tindakan tegas terhadap kelompok NII KW IX. FUUI pun tahun 2001 telah menyerahkan dokumen dan bukti terkait NII KW IX kepada kepolisian dan kejaksaan.

Wajar jika umat bertanya-tanya, ada apa di balik semua itu. Wajar pula jika timbul anggapan bahwa isu NII sengaja dipelihara dan diangkat saat ini untuk tujuan tertentu.

Hati-Hati Propaganda Negatif

Seiring dengan sikap “aneh” pemerintah itu, isu NII justru diekspos secara massif. Berbagai opini dan propaganda pun diblow up dengan memanfaatkan isu tersebut. Di media massa dibeberkan pernyataan kepolisian dan pihak lainnya bahwa beberapa pelaku aksi teror pernah bergabung dengan NII. Maraknya radikalisme dan aksi terorisme pun tak jarang dikaitkan dengan ideologi radikal seperti yang dikembangkan oleh NII. Pada saat yang sama berbagai kasus yang dikaitkan dengan NII dan berbagai penyimpangan NII diblow up dan terus dikaitkan dengan tujuan pendirian negara islam.

Dengan itu negara islam dikesankan sebagai sesuatu yang menakutkan, menjadi ancaman dan bahaya bagi umat. Sekaligus secara implisit itu adalah propaganda untuk mengesankan syariah islam sebagai ancaman dan bahaya. Maka itulah upaya “monsterisasi” istilah negara islam. Arahnya tidak lain adalah untuk menciptakan dan menanamkan sikap phobi terhadap visi islam politik penerapan syariah islam dalam bingkai negara. Ujungnya adalah untuk menjauhkan umat dari perjuangan penerapan syariah yang diwajibkan oleh Allah atas mereka. Semua itu berkelindan dengan program deradikalisasi. Ujungnya untuk membuat masyarakat resisten terhadap visi islam politik. Penerapan Islam dalam format negara pun harus dijadikan momok bagi kehidupan sosial politik umat negeri ini meski mayoritasnya adalah muslim. Sebaliknya format sekuler dan kapitalis liberal dalam bingkai demokrasi yang diadopsi di negeri ini dianggap sudah final dan “harga mati”, padahal sejatinya justru menjadi sumber semua permasalahan yang terjadi.

Disisi lain, isu NII terus dibiarkan agar menjadi “teror NII“. Hal itu untuk menegaskan bahwa proyek deradikalisasi harus berjalan dengan maksimal dan melibatkan banyak pihak. Juga untuk mendesakkan kebutuhan akan adanya regulasi (UU) tentang keamanan negara khususnya UU Intelijen yang sedang dibahas di DPR. Menhan Purnomo Yoesgiantoro menyatakan bahwa penanganan kelompok NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar hukum yang kuat. Ia beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional dan UU Intelijen yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara, 29/4/2011). Menurut Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam, Sagom Tamboen, untuk mengantisipasi adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan gerakan NII, maka diperlukan terbentuknya Undang-Undang Intelijen (Okezone.com, 29/4).

Wahai Kaum Muslim

Disinilah kiranya bisa dipahami terus bergulirnya isu NII ini, bahkan terkesan dipelihara diiringi dengan sikap “aneh”pemerintah itu. Umat harus waspada dan menolak diperalatnya isu ini untuk mensahkan uu yang akan melahirkan rezim represif yang telah menciptakan trauma bagi umat.

Umat juga harus hati-hati jangan sampai terbawa oleh propaganda yang ingin membuat umat phobi dan menjauh dari islam dan syariahnya serta perjuangan penerapan syariah islam dalam bingkai negara.

Semua itu akan gagal. Allah berfirman:

وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

Mereka membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali ‘Imran [3]: 54)

Sebaliknya umat harus yakin, justru formalisasi syariah melalui negara di dalamnya tersimpan kehidupan dan kebaikan bagi seluruh masyrakat baik muslim maupun non muslim dan kunci terwujudnya kerahmatan bagi semua. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [http://hizbut-tahrir.or.id/2011/05/04/monsterisasi-teror-nii-kuatkan-islamophobia/#comment-69931].

sumber: http://kuliahpemikiran.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar!!!